Sejarah
Perkembangan Agama Buddha
(alasan
kemunculan, riwayat, dan makna peristiwa sejarah kehidupan Buddha)
(untuk materi
kuliah pertemuan 1)
Sub capaian Pembelajaran
Mata Kegiatan
Sub capaian pembelajaran yang
diharapkan dicapai oleh mahasiswa adalah mampu:
1.
menganalisis alasan kemunculan Buddha,
2.
menelaah riwayat kehidupan 24 Buddha dan Buddha Gotama, dan
3.
mengaitkan makna peristiwa sejarah kehidupan Buddha dengan kehidupan
manusia.
1. Alasan kemunculan Buddha
Saudara, Anda tentu sudah
mengetahui bagaimana kemunculan seorang Buddha sejak masa kehidupan bodhisatva
hingga Buddha Gotama. Sangat jarang munculnya seorang Buddha di dunia ini.
Kemunculan seorang Buddha diawali melalui perjalanan panjang sebagai bodhisatva.
Empat kurun waktu yang tak
terhingga (asaṅkhyeyya kappa) dan seratus ribu kurun waktu yang sangat lama
(kappa) yang telah silam. Pada masa kehidupan Buddha Dīpaṅkarā,
Sumedhā merupakan seorang pemuda yang bijaksana putra dari keluarga brahmana.
Ketika kedua orangtuanya meninggal dunia saat Sumedhā masih muda, ia mendanakan
semua harta keluarganya. Sumedhā merenungkan bahwa “Sungguh menyedihkan
kelahiran sebagai makhluk hidup, demikian pula kehancuran dari badan jasmani,
sungguh menyedihkan mati dalam tekanan kebodohan dan di bawah kekuasaan usia
tua.” Dengan perenungan itu ia ingin mencari jalan kebebasan dari penderitaan.
Kemudian Sumedhā memutuskan untuk menempuh hidup menjadi petapa. Dengan
melakukan petapaan secara sungguh-sungguh, petapa Sumedhā mencapai delapan
pencapaian (Jhāna) dan lima kekuatan batin tinggi (Abhinna).
Pada saat bertemu dengan Buddha
Dīpaṅkarā,
Sumedhā sangat kagum kepada-Nya. Buddha Dīpaṅkara yang terkaruniai tiga puluh dua
tanda Makhluk Agung (Mahāpurisa lakkhana) dan delapan puluh tanda kecil
lainnya. Ia menyaksikan pribadi Buddha di puncak keagungan-Nya, tubuh-Nya
cemerlang bagaikan emas, dengan kilauan aura dan enam cahaya terpancar dari
tubuh-Nya. Oleh karena itu ia bertekad untuk melakukan kebajikan kepada-Nya
agar mendapatkan kesejahteraan dan kebahagiaan dalam jangka waktu yang lama.
Dengan kekaguman kepada Buddha Dīpaṅkarā, petapa Sumedhā muncul keinginan
untuk menjadi Buddha di masa mendatang. Petapa Sumedhā akan berusaha mencapai
Kebuddhaan dan membebaskan semua makhluk termasuk para dewa dari lingkaran
kelahiran yang merupakan lautan penderitaan. Saudara, dari uraian ini dapat
disimpulkan apa yang menjadi alasan munculnya seorang Buddha.
Dengan kemampuan batin-Nya, Buddha
Dīpaṅkarā
dapat melihat kualitas batin petapa Sumedhā. Terdapat delapan syarat untuk
dapat menjadi bodhisatva, Buddha Dīpaṅkarā dapat melihat delapan syarat
tersebut pada diri Sumedhā. Oleh karena itu ia menyatakan bahwa setelah empat
asaṅkhyeyya
dan seratus ribu kappa sejak saat ini, Sumedhā akan menjadi seorang
Sammasambuddha di masa mendatang bernama Buddha Gotama.
Petapa Sumedhā mengetahui bahwa
Kesempurnaan (Pārami) yang berperan dalam mendapatkan pengetahuan mengenai
Jalan dan Buahnya, Kebuddhaan, harus dipenuhi oleh para Bodhisatva. Sejak saat
itu, Bodhisatva Sumedhā memenuhi KesempurnaanKesempurnaan tersebut dalam
berulang kali kelahirannya, demi kesejahteraan semua makhluk Bodhisatva dalam
kehidupannya sebagai petapa Sumedhā telah mencapai tingkat-tingkat spiritual
pada waktu bertemu dengan Buddha Dīpaṅkarā sehingga ia dapat mencapai
kebebasan (mencapai kesucian arahat) jika ia menginginkannya. Namun sebagai
seorang manusia luar biasa yang memiliki welas asih yang tertinggi, ia rela
mengalami banyak penderitaan dalam samsara selama jangka waktu yang sangat lama
yaitu empat asaṅkhyeyya dan seratus ribu kappa untuk memenuhi Kesempurnaan
dengan tujuan untuk membebaskan makhluk-makhluk dari penderitaan. Boddhisatva
terus-menerus berusaha memenuhi Kesempurnaan (Pārami).
2. Riwayat kehidupan 24 Buddha dan Buddha
Gotama
Di masa lampau terdapat duapuluh
empat Buddha yang berhubungan dengan bodhisatva calon Buddha Gotama. Keduapuluh
empat Buddha tersebut bertemu dengan bodhisatva calon Buddha Gotama pada
masanya masing-masing dan memberikan pernyataan bahwa bodhisatva tersebut akan
menjadi Buddha di masa mendatang. Buddha pertama yang bertemu dengan bodhisatva
adalah Buddha Dīpaṅkarā, sedangkan yang terakhir adalah Buddha Kassapa. Setiap
Buddha mempunyai beberapa aspek kesamaan dan perbedaan antara satu dengan
lainnya. Siapakah keduapuluh empat Buddha tersebut? Bagaimanakah kisah
lengkapnya? Bagaimanakah persamaan dan perbedaan diantara mereka? Bagaimanakah
pertemuan para Buddha dengan bodhisatva? Pada saat bertemu Buddha, bagaimana
bentuk kehidupan bodhisatva calon Buddha Gotama?
Saudara, lalu bagaimanakah hubungan
bodhisatva calon Buddha Gotama dengan keduapuluh empat tersebut? Dalam masa
Buddha masing-masing, bodhisatva calon Buddha
Gotama bertemu dengan tiap Buddha tersebut dan
mendapatkan ramalan/ pernyataan bahwa Ia akan menjadi Buddha di masa
mendatang.
3. Hubungan
riwayat kehidupan 24 Buddha dengan Buddha Gotama
a. Kemunculan Buddha Gotama
Setelah melewati kehidupan panjang
sebagai bodhisatva, calon Buddha terlahir di alam Surga Tusita dengan usia yang
sangat panjang. Untuk kemunculan seorang Buddha di dunia diperlukan kondisi
yang sesuai. Dewa Santusita mampu melihat lima kondisi tersebut sudah ada di
bumi. Saudara, apa sajakah kelima kondisi tersebut? Setelah lima kondisi
terpenuhi, bodhisatva meninggal dari alam Tusita dan terlahir kembali sebagai
Pangeran Siddharta.
Terlahir sebagai anak dari Raja Suddhodana dan Ratu
Mahamaya di kerajaan suku Sakya. Bagaimanakah kehidupan Pangeran Siddharta di
istana? Bagaimana kebijaksanaannya?
b. Bodhisatva
Siddharta melihat empat pertanda kemudian meninggalkan keduniawian Setelah
dewasa, kebijaksanaan itu mencapai puncaknya. Pada usia 28 tahun, pangeran
Siddharta melihat empat pertanda yang merubah hidupnya. Pertanda berupa orang
tua, orang sakit, dan orang meninggal, menyadarkannya bahwa kehidupan adalah
dukkha. Bodhisatva Pangeran Siddharta yang berkeinginan untuk menjadi Buddha
mengetahui dengan jelas melalui perenungan bahwa kelahiran (jāti) adalah
penyebab utama dari proses ketuaan (jarā).
Ia merenungkan dengan samvega penembusan, “Oh,
kelahiran adalah benar-benar menjijikkan. Siapa saja yang mengalami kelahiran,
pasti mengalami ketuaan.” Setelah merenungkan demikian, Ia menjadi bersedih dan
murung, muram, dan patah hati. Kesenangannya sebagai seorang pangeran tidak
mampu mengubah kegelisahannya tentang kehidupan. Pertanda keempat berupa
seorang petapa menginspirasi untuk meninggalkan keduniawian, menjadi petapa
untuk mencari jawaban dari kegelisahannya tentang dukkha dalam kehidupan.
Pada saat pesta perayaan kelahiran
anak pertama yaitu Rahula, Ia merenungkan dan menyadari bahaya dari kelahiran,
usia tua, sakit, dan kematian dan kenyataan bahwa objekobjek dan nafsu
kenikmatan indria serta tiga alam kehidupan kāmā, rūpa, dan arūpa juga tidak
membahagiakan dan tidak menyenangkan, lebih merupakan penderitaan, kesakitan,
dan penuh cacat. Ia menjadi secara total melepaskan keterikatan dan kesenangan
terhadap lima objek kenikmatan indria, kemudian mengungkapkan perasaan-Nya.
Muncul keinginan kuat untuk melepaskan keduniawian dan menjadi petapa, dan
berpikir, “Sekarang adalah waktunya bagi-Ku bahkan hari ini juga untuk pergi
meninggalkan kehidupan rumah tangga.” Pada usia
29 tahun Pangeran melakukan pelepasang agung
meninggalkan istana untuk menjadi petapa. Saudara, bagaimana Anda menanamkan
karakter pangeran Siddharta dan meneladani sikap pengorbanan kepada peserta
didik?
c. Pertapaan keras sebagai upaya yang salah
hinga menempuh jalan benar
Dalam pencarian kebenaran, petapa
Gotama belajar kepada guru dengan kemampuan batin tinggi. Pertama adalah Ālāra
Kalama. Belajar dengan guru ini petapa Gotama mendapat pengetahuan tertinggi
pencapaian Arupa Jhāna ketiga (Ākiñcaññāyatana/ kesadaran pada kekosongan tanpa
batas). Tidak puas dengan pencapaian ini, kemudian Ia belajar kepada Udaka
Ramaputta. Dengan guru ini, petapa Gotama mendapat pengetahuan tertinggi
pencapaian Arupa Jhāna keempat/ tertinggi (Nevasaññāvāsaññāyatana / kesadaran
bukan pencerapan pun bukan bukan pencerapan). Dengan pencapaian ini pun petapa
Gotama tidak puas. Ia berpikir, jhāna-jhāna ini masih berada dalam lingkaran
penderitaan, tidak dapat mengakhiri lingkaran penderitaan, tidak melenyapkan
kotoran batin nafsu, tidak mampu mencapai pengetahuan mengenai Jalan untuk
menembus Nibbāna.
Setelah merasa tidak menemukan apa
yang dicari, petapa Gotama mempraktikkan pertapaan keras menyiksa diri. Tekad
untuk melakukan pertapaan keras, “Meskipun yang tersisa tinggal kulit, tinggal
urat, tinggal tulang, meskipun daging dan darah-Ku menguap. Aku tidak akan
berhenti dalam berusaha mencari pembebasan dari penderitaan”. Cara paling keras
dalam pertapaan menyiksa diri ini adalah metode meditasi menahan nafas (Appāṇaka
Jhāna) dan makan hanya segenggam nasi dalam sehari. Upaya ini tentu menyebabkan
penderitaan besar. Kondisi terburuk akibat upaya penyiksaan diri yaitu bentuk
tubuh menjadi sangat kurus dan lemah, tanda-tanda fisik manusia agung
(Mahapursalakkhana) pudar. Namun demikian semangat petapa Gotama sangatlah
besar, tidak berkurang sama sekali. Perhatian-Nya sangat jernih dan kokoh,
tidak pernah sekalipun kehilangan perhatian-Nya. Tidak pernah terpikir
sedikitpun untuk meninggalkan usaha pertapaannya dan kembali ke kehidupan
duniawi.
Dalam kondisi fisik lemah tersebut,
petapa Gotama juga mendapat gangguan dari Māra makhluk jahat. Māra adalah dewa
yang sangat sakti berasal dari alam Vasavati, yang memberontak dengan
pengikutnya yang banyak terdiri dari dewa-dewa jahat, menyebabkan kekacauan
bagi umat manusia, dewa, dan brahmā dalam melakukan kebajikan. Mara tidak ingin
petapa Gotama mencapai penerangan sempurna. Terhadap gangguan ini petapa Gotama
dapat mengatasinya. Petapa Gotama juga berhasil mengatasi sepuluh bala tentara,
yang melambangkan kondisi batin dalam diri yang menjadi hambatan-hambatan yang
dialami oleh seorang petapa yang ingin mencapai pencerahan atau kesucian batin.
Saudara, apa saja kesepuluh bala tentara Mara tersebut? Apakah kita sebagai
umat awam juga menghadapi bala tentara Mara?
Upaya keras dengan menyiksa diri tidak
menghasilkan apa-apa bahkan petapa Gotama pernah pingsan karena fisiknya sangat
lemah. Petapa Gotama berhenti menempuh jalan salah ketika terinspirasi oleh
syair wanita penari “Kalau dawai kecapi ditarik terlalu kendur, suara akan
hilang, kalau dawai kecapi ditarik terlalu kencang, akan putus. Jika dawai
tidak terlalu longgar dan tidak terlalu kencang, kecapi akan menghasilkan suara
merdu”. Bodhisatva sungguh tergugah oleh syair tembang yang dilantunkan para
gadis itu. Ia telah terlalu banyak menikmati kepuasan indrawi dengan segala
kemewahannya selagi masih tinggal di istana dulu. Sebagaimana halnya dawai
kecapi yang ditala terlalu longgar, demikian pula Pencerahan tak akan tercapai
dengan pemanjaan diri. Ia juga telah menjalankan tapa sedemikian ketat hingga
hampir mati. Sebagaimana halnya dawai kecapi yang ditala terlalu kencang,
demikian pula Pencerahan tak dapat dicapai melalui penyiksaan diri. Demikianlah
akhir dari jalan salah yang ditempuh oleh petapa Gotama.
Petapa Gotama teringat semasa kecil
mengembangkan ānāpāna bhāvanā (meditasi perhatian terhadap pernafasan) serta
mencapai Rūpā jhāna tingkat pertama. Ia menyadari, “Inilah jalan menuju
Pencerahan.” Kemudian ia menyadari bahwa fisik yang sehat diperlukan untuk
melakukan meditasi tersebut. Sejak saat itu petapa Gotama tidak berpuasa lagi
dan makan dengan normal hingga tubuhnya menjadi sehat kembali. Demikianlah awal
dari jalan benar (jalan tengah) yang ditempuh petapa Gotama.
Hal penting untuk diperhatikan
adalah kesalahan persepsi tentang cara penyiksaan diri yang dilakukan petapa
Gotama. Bodhisatva petapa Gotama menjadi Buddha bukan karena dukkharacariya
melainkan karena praktik Jalan Tengah (Majjhima Patipadā), dan telah memiliki
kesempurnaan pārami, cāga, dan cariya. Penyiksaan diri adalah cara yang salah,
kemudian petapa Gotama menempuh jalan benar dimulai ketika ia berhenti puasa
dan melakukan meditasi vipassana. Saudara, bagaimana kita dapat mengambil nilai
luar biasa yang terkandung dari kisah petapa Gotama menyiksa diri?
d. Pencapaian Penerangan Sempurna
Duduk di bawah pohon Bodhi,
menghadap ke arah timur dengan pikiran terpusat, Bodhisatva berseru: ”Meskipun
hanya kulit-Ku yang tersisa, meskipun hanya urat-Ku yang tersisa, meskipun
hanya tulang-Ku yang tersisa, meskipun seluruh tubuh-Ku dan seluruh daging dan
darah-Ku mengering, jika aku belum mencapai Kebuddhaan, Aku tidak akan mengubah
postur-Ku dari duduk bersila seperti sekarang ini.” Ketika sudah mantap
tekad-Nya, datang gangguan Mara. Kali ini Mara ingin membunuh petapa Gotama,
datang bersama para prajuritnya. Menghadapi hal tersebut, Bodhisatva
menunjukkan kesabaran terhadap semua serangan kejam yang dilancarkan Māra dan
gerombolannya, Ia memandang Māra tanpa takut, namun dengan cinta kasih dan
welas asih. Mara meluncurkan semua senjata panas yang bisa melumatkan barang
apa saja, namun ketika mencapai sekitar pohon Bodhi (Bodhi Maṇḍala),
semuanya berubah dan jatuh menjadi aneka ragam kembang surgawi. Bodhisatva
membangkitkan kekuatan tanpa banding dari simpanan jasa spiritual tak terhingga
yang berasal dari Pāramī-Nya. Demikianlah Bodhisatva Gotama mengalahkan
Māra.
Setelah mengatasi semua gangguan,
petapa Gotama melanjutkan meditasi. Bodhisatva mencapai Tiga Pengetahuan
Sempurna yaitu: 1) Pubbenivasanussati ñāna, yaitu pengetahuan mengenai kehidupan-kehidupan lampau, 2) Dibbacakkhu
ñāna (Mata-dewa) / Cutupapāta ñāna, yaitu kemampuan melihat muncul dan
lenyapnya / kematian dan kelahiran makhlukmakhluk, dan 3) Āsavakkhaya ñāna,
yaitu pengetahuan akan padamnya kekotoran batin. Bagaimanakah pencapaian
Pubbenivasanussati ñāna, Dibbacakkhu ñāna, dan Āsavakkhaya ñāna? Bagaimana
kesucian batin yang dicapainya? Apa saja pengetahuan yang dicapai dalam
Penerangan Sempurna? Bagaimana kita dapat berkontribusi dalam mewariskan
ajaran-Nya yang luar biasa kepada para siswa dari semua generasi?
e. Pemutaran Roda Dhamma
(Dhammacakkappavattana)
Pada usia 35 tahun, petapa Gotama
mencapai cita-citanya, bodhisatva mencapai penerengan sempurna, menjadi Buddha.
Buddha membabarkan khotbah pertama-Nya, Dhammacakkappavattana Sutta (Khotbah
Mengenai Pemutaran Roda Dhamma) kepada lima petapa, yaitu Koṇḍañña
Vappa, Bhaddiya, Mahānāma, dan Assaji. Dalam khotbah ini, Buddha menyatakan
bahwa terdapat dua ekstrem, yaitu pemanjaan diri dan penyiksaan diri, yang
harus dihindari oleh orang yang telah meninggalkan keduniawian. Ia menunjukkan
latihan Jalan Tengah, yang terdiri dari delapan faktor, yaitu Jalan Mulia
Berfaktor Delapan. Ia juga membabarkan Empat Kebenaran Mulia. Setelah
pembabaran Dharma ini, kelima petapa memilik pandangan tanpa noda dan murni
terhadap Dhamma dan mencapai tingkat kesucian pertama Sotāpatti. Kemudian
kelima petapa ditahbiskan menjadi bhikkhu oleh Buddha sendiri (Ehi Bhikkhu
Upasampada), Buddha berkata, “Mari, Bhikkhu! Dhamma telah dibabarkan dengan
sempurna. Jalanilah hidup suci demi berakhirnya penderitaan secara penuh.”
Dengan demikian terbentuk pertama kali pasamuan Sangha. Selanjutnya Buddha
membabarkan Anattalakkhaṇa Sutta (Khotbah Mengenai Tiadanya Inti Diri), yang dibabarkan sebagai
tanya– jawab antara Buddha dengan kelima siswa suci-Nya. Setelah mendengarkan
pembabaran kotbah ini pikiran para siswa terbebas dari kotoran batin, tanpa
kemelekatan; semua mencapai tingkat kesucian tertinggi Arahat. Pada saat
pembabaran kedua sutta tersebut, para brahma dan dewa juga turut mendengarkan
Dharma dan mencapai tingkat-tingkat kesucian. Maka dikatakan bahwa Buddha
adalah Guru bagi para brahma, dewa, dan manusia.
Saudara, bagaimanakah kita sebagai
siswa mewujudkan rasa terima kasih atas dibabarkannya Dharma tersebut?
f. Para Utusan Dharma Pertama
Setelah selesai mengantarkan kelima
siswa pertama pada kesucian, Buddha bertemu Yasa, seorang putra dari keluarga
kaya raya di Bārānasi. Pada akhirnnya Yasa mencapai kesucian Arahat dan ditahbiskan
menjadi bhikkhu. Pada kesempatan berikutnya ayah Yasa, ibu Yasa, dan mantan
istri Yasa menerima kotbah Ānupubbikathā dan Cattari Ariya Saccani sehingga
mencapai kesucian Sotāpatti. Ayah Yasa akhirnya mengambil perlindungan kepada
Buddha, Dhamma, dan Sangha, menjadi upasaka (siswa umat awam) pertama. Demikian halnya
dengan ibu dan mantan istri Yasa menjadi para upasika pertama.
Yasa beserta teman-temannya menjadi
bhikkhu dan mencapai kesucian Arahat, sehingga pada saat itu sudah terdapat
enam puluh satu arahat, terdiri dari Sang Buddha, lima siswa pertama, dan Yasa
beserta teman-temannya. Dengan kondisi itu, Buddha mengutus para bhikkhu,
“Pergilah, para Bhikkhu, demi kesejahteraan dan kebahagiaan banyak makhluk,
atas dasar welas asih kepada dunia, demi kebaikan, kesejahteraan, dan
kebahagiaan para dewa dan manusia. Janganlah pergi berdua dalam satu jalan!
Babarkanlah Dhamma yang indah pada awalnya, indah pada pertengahannya, dan
indah pada akhirnya, dalam makna maupun isinya. Serukanlah hidup suci, yang
sungguh sempurna dan murni”. Pada perkembangannya ketika pengikut ajaran Buddha
semakin banyak dan siswa yang ingin memasuki kebhikkhuan juga semakin banyak,
kemudian Buddha mengijinkan para bhikhhu untuk menahbiskan seorang bhikkhu
dengan metode Tisaranagamana upasampada, yaitu menyatakan berlindung kepada
Buddha, Dharma, dan Sangha.
Terdapat sepasang sahabat bernama
Upatisa dan Kolita yang belajar kepada seorang guru bernama Sanjaya bersama 250
siswa lain. Suatu ketika Upatisa bertemu bhikkhu Assaji (salah satu siswa pertama Buddha) dan mendapatkan
pembabaran Dharma sehingga mencapai kesucian Sotāpatti. Kemudian Upatisa
menyampaikan Dharma dari bhikkhu Assaji kepada Kolita, sehingga ia pun mencapai
kesucian Sotāpatti. Upatisa dan Kolita bersama 250 siswa Sanjaya menemui Sang
Buddha untuk memohon ditahbiskan menjadi bhikkhu. Upatisa ditahbiskan menjadi
bhikkhu dengan gelar Sariputta, dan Kolita dengan gelar Mogggallana.
Pada suatu malam purnama di bulan
Magha terjadi pertemuan luar biasa. Pertemuan para siswa (Sannipàta) adalah
peristiwa istimewa yang memiliki empat ciri. Pada pertemuan para siswa inilah,
Sang Buddha menganugerahkan gelar Agga Sāvaka kepada dua Siswa Utama, Yang
Mulia Sāriputta dan Yang Mulia Moggallāna. Sāriputta sebagai siswa utama dalam
kebijaksanaan, dan Moggallāna siswa utama dalam kemampuan batin. Pada hari itu
juga, Buddha membabarkan instruksi mengenai kewajiban para bhikkhu yaitu Ovāda
Pātimokkha. Apa yang dilakukan oleh Sang Buddha tersebut adalah upaya untuk
melestarikan Dharma, agar dapat tersebar luas dan bermanfaat bagi kebahagiaan
semua makhluk. Ovāda Pātimokkha bertujuan agar para bhikkhu sebagai pewaris
Dharma dapat menjaga ajaran dengan mempraktikkannya.
g. Buddha guru para brahma, dewa, dan manusia
Sang Buddha dan para bhikkhu
menyebarkan Dhamma kepada semua orang tanpa membedakan kasta, warna kulit, ras,
ataupun jenis kelamin, jumlah siswa-Nya bertambah pesat. Banyak pangeran,
putri, ratu, brahmin, saudagar, petani, ibu rumah tangga, kaum buangan, pelayan
wanita, dan wanita penghibur sekalipun memasuki Persamuhan Bhikkhu dan
Persamuhan Bhikkhunī. Banyak juga yang menjadi siswa-siswi awam yang
berbakti.
Raja Bimbisāra dari Magadha adalah
raja pertama yang menjadi siswa Buddha, berbakti dan mencapai kesucian
Sotāpatti. Raja Pasenadi dari Kosala juga menjadi siswa yang berbakti. Keduanya
merupakan siswa berbakti yang menjadi penyokong utama Buddha dan Pasamuan siswa
Bhikkhu, mendapat banyak pembabaran Dharma, dan berperan penting dalam
penyebaran ajaran Buddha.
Anāthapiṇḍika dan Visakha
adalah umat awam kaya raya yang menjadi siswa Buddha yang berbakti sebagai
penyokong Buddha dan para bhikkhu, keduanya mencapai tingkat kesucian batin.
Siswa Buddha juga berasal dari orang biasa dan berkedudukan rendah, seperti
petani Kasi Bhāradvāja, Sunīta pria pemulung, keduanya setelah mendapatkan
Dharma dari Sang Buddha akhirnya mencapai kesucian arahat. Culapanthaka,
seorang bhikkhu yang bodoh, tidak mampu mengingat, akhirnya mencapai kesucian
tertinggi arahat. Aṅgulimāla pembunuh sembilan ratus sembilan puluh orang, setelah
mendengarkan Dharma dari Buddha, dapat mencapai kesucian tertinggi arahat.
Ambapālī, wanita penghibur yang menjadi menjadi bhikkhunī dan mencapai kesucian
Arahat.
Sang Buddha adalah guru para brahma,
dewa, dan manusia. Brahmā Baka, penganut pandangan salah kekekalan, menjadi
terkagum-kagum oleh Sang Buddha. Sang Buddha mengajarkan Dharma kepada para
dewa, salah satu contohnya adalah pembabaran Mangala
Sutta.
Saudara, Sang Buddha menghadapi
segala hambatan dengan kesabaran dan cinta kasih, dengan penuh keyakinan atas
dasar kebenaran. Bagaimana Anda menumbuhkan sikap semacam ini kepada peserta
didik?
h. Wanita diijinkan menjadi Bhikkhuni
Mahāpajāpatī Gotamī adalah pelopor
terbentuknya Sangha Bhikkhunī. Dengan wafatnya Raja Suddhodana, Mahāpajāpatī
merasa tugasnya sebagai seorang permaisuri selesai. Bersama 500 janda dari
Kapilavastu, ia pergi menememui Buddha di Vesali untuk memohon ditahbiskan
menjadi Bhikkhuni. Dengan bantuan permohonan oleh bhikkhu Ananda, Sang Buddha
bersedia menahbiskan Mahāpajāpatī dengan syarat harus menerima Delapan Aturan
Ketat (Aṭṭha Garudhammā). Mahāpajāpatī ditahbiskan sebagai bhikkhuni
pertama, dilanjutkan dengan penahbisan 500 wanita lainnya. Yasodara istri
Pangeran Siddharta juga ditahbiskan menjadi bhikkhuni bergelar Bhaddakaccānā.
Sehingga terbentuklah pertama kali Sangha Bhikkhuni. Sang Buddha mengajar
Bhikkhunī Mahāpajāpatī Gotamī hingga akhirnya mencapai kesucian Arahat.
Kelimaratus wanita lainnya akhirnya juga mencapai Arahat setelah mendengarkan
Nandakovāda Sutta. Di antara para siswi bhikkhunī, Mahāpajāpatī Gotamī adalah
yang paling senior dan paling berpengalaman (rataññūnaṁ aggā). Sang Buddha
juga menetapkan dua siswi bhikkhuni utama yaitu bhikkhuni Khemā sebagai siswi
yang unggul dalam kebijaksanaan, dan
bhikkhuni Uppalavannā sebagai siswi yang unggul dalam kekuatan
batin.
Saudara, Sang Buddha adalah
seorang revolusioner dengan melakukan tindakan yang melawan tradisi yang ada
pada saat itu. Derajat wanita yang lebih rendah dibandingkan pria menjadi
terangkat dengan penahbisan menjadi bhikkhuni. Bagaimanakah umat Buddha
mengaplikasikan persamaan gender pada masa kini?
i. Sang Buddha parinibbana
Sang Buddha membabarkan Dharma
selama empat puluh lima tahun. Pada usia 80 tahun, Ia memutuskan untuk
Parinibbana. Setelah Buddha parinibbana, para siswa tidak dapat lagi bersujud
langsung kepada-Nya. Maka Sang Buddha memberikan pesan: tentang empat tempat
yang layak diziarahi oleh umat yang penuh keyakinan dan yang akan
menginspirasikan kebangkitan spiritual dalam diri mereka. Tempat-tempat itu
meliputi: 1) Lumbinī, tempat kelahiran Tathāgata, 2) Buddha Gayā, tempat
Tathāgata mencapai Pencerahan Sempurna, 3)
Taman Rusa di Isipatana dekat Bārāṇasī,
tempat Tathāgata memutar roda Dhamma pertama kali, 4) Kusinārā, tempat
Tathāgata mencapai Parinibbāna. Semua peziarah ini, jika mereka meninggal
dengan hati yang penuh bakti, saat tubuhnya hancur setelah mati, akan terlahir
kembali di alam bahagia, bahkan di alam surga. Sang Buddha memberikan pesan
mengenai guru pengganti setelah Ia wafat, Dhamma dan Vinaya sebagai guru. Sang
Buddha mengharapkan bahwa Sangha sebagai pewaris Dharma harus hidup rukun.
Pada usia 80 tahun Sang Buddha
wafat di Kusinara. Jasad diperabukan, menghasilkan relik yang kemudian
dibagikan kepada delapan pihak yaitu kerajaan-kerajaan dan suku-suku di sekitar
Kusinara. Mereka mendirikan sebuah stupa di tempat masing-masing untuk menyemayamkan
relik Sang Buddha agar semua orang dapat memberikan penghormatan.
Tugas :
1.
buatlah analisis alasan kemunculan Buddha!
2.
buatlah telaah riwayat kehidupan 24 Buddha dan Buddha Gotama!
3.
Kaitkan makna peristiwa sejarah kehidupan Buddha dengan kehidupan
manusia!
NB: Jawaban benar-benar tulisan dan
buah pikir sendiri berdasarkan pemahaman!