Senin, 30 September 2024

MAKNA KATHINA (Perayaan Hari Kathina) bagi Umat Buddha

MAKNA KATHINA (Perayaan Hari Kathina) bagi Umat Buddha

Umat wajib melestarikan ajaran Buddha, seperti memperingati hari penting salah satunya adalah hari Raya Kathina. Kathina dilaksanakan setelah para bhikkhu menyelesaikan masa Vassa.

Vassa adalah sebuah praktik yang dijalankan oleh para bhikkhu untuk berdiam diri (berlatih) di suatu tempat pada musim penghujan, agar terhindar dari bahaya yang timbul karena alam. Hal ini juga bertujuan untuk menghindari ketidaksengajaan para bhikkhu melukai atau merusak tumbuhan serta makhluk hidup yang muncul di saat musim hujan.

Pada masa Vassa, para bhikkhu memantapkan diri untuk menyempurnakan sīla dengan melaksanakan meditasi. Setelah masa Vassa berakhir, umat Buddha memasuki masa Kathina (jatuh pada bulan Oktober-November).

Hari Raya Kathina merupakan waktu yang tepat bagi umat Buddha untuk berdana di ladang yang subur, yaitu para bhikkhu. Hal ini dianggap sebagai perwujudan rasa syukur dan terima kasih atas nasehat, dorongan, dan bimbingan untuk meningkatkan moralitas atau etika dengan memberikan persembahan 4 (empat) kebutuhan pokok berupa: (1) Jubah (civara), (2) Pindapata (makanan), (3) Tempat tinggal (senasana), dan (4) Obat-obatan (bhesajja).

Dalam melaksanakan dana Kathina, umat Buddha harus penuh keyakinan, bahagia pada sebelum, saat, dan setelah memberi dana. Pemberian dana yang dilakukan dengan hal-hal seperti itu, maka akan memperoleh manfaat yang sangat besar seperti: paras cantik, suara merdu, kekuasaan serta mempunyai banyak pengikut (Nidhikanda Sutta, SN.1;8).

Dana merupakan salah satu bentuk praktik pelepasan. Pada dasarnya setiap manusia memiliki sifat serakah, kebencian, dan kegelapan batin. Pelaksanaan praktik dana diharapkan dapat mengikis kemelekatan pada diri seseorang. Hal penting yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan praktik dana adalah barang atau sesuatu yang akan diberikan merupakan hasil dari perbuatan benar.

Manfaat dana yang diberikan oleh umat bagi anggota sangha adalah terpenuhinya empat kebutuhan pokok penyokong hidup. Pemenuhan kebutuhan pokok bertujuan agar para bhikkhu dapat menjalankan kehidupan suci dengan lancar demi terwujudnya pembebasan sejati. Sedangkan bagi perumah tangga, praktik dana merupakan latihan berupa kerelaan untuk memberikan/melepaskan sesuatu kepada orang lain, dalam hal ini adalah para anggota sangha.

Buddha mengatakan bahwa berdana kepada sangha merupakan ladang yang subur dan terbaik, karena memberikan kesempatan bagi seseorang untuk tetap menjalankan hal-hal yang baik dalam kehidupan suci dan akirnya dapat memberikan manfaat berupa keteladanan.

Adanya mutualisme antara sangha dengan perumah tangga, maka sudah sepantasnya hubungan ini harus tetap dijaga dengan baik. Hubungan ini merupakan hubungan saling menghormati sesuai dengan posisinya masing-masing, Kedua pihak memiliki rasa saling asah, asih, dan asuh. Dengan demikian kita semua dapat memperoleh manfaat dari hubungan ini demi meningkatkan kualitas batin dan kelestarian agama Buddha.

 

Lagu: Hari Kathina, Video Perayaan Kathina (https://www.youtube.com/watch?v=Gky6Bf0ZMLg ; https://www.youtube.com/watch?v=FY5iayNnmQw)

Lagu 2: Sambut hari Kathina (https://www.youtube.com/watch?v=Anr30wotS-Q)

Lagu 3: Sangha Mulia (https://www.youtube.com/watch?v=-o4HjJio-F4)

Minggu, 29 September 2024

Menghadapi Tantangan dengan Keberanian

Menghadapi Tantangan dengan Keberanian

 

Keberanian secara umum merujuk pada sifat atau kualitas yang menandakan kemauan dan kemampuan seseorang untuk menghadapi atau mengatasi situasi yang sulit, berisiko, atau menantang tanpa rasa takut berlebihan. Ini melibatkan keberanian untuk mengambil tindakan, menghadapi ketidakpastian, dan mengatasi rintangan.

1.      Kemauan untuk Mengambil Risiko

Keberanian seringkali terkait dengan kemauan untuk mengambil risiko yang mungkin berkaitan dengan keuntungan atau kemajuan pribadi, meskipun itu bisa berarti menghadapi potensi kegagalan.

2.      Ketidakpedulian terhadap Ketakutan

Keberanian tidak berarti tidak ada rasa takut, tetapi lebih kepada kemampuan untuk bertindak meskipun ada ketakutan. Orang yang berani mampu mengelola dan mengatasi rasa takut mereka.

3.      Ketegasan dan Kepantasan 

Keberanian juga dapat mencakup sifat ketegasan dan kepastian dalam pengambilan keputusan. Orang yang berani dapat mengambil langkahlangkah yang tegas dan mantap.

4.      Kemandirian

Keberanian sering kali melibatkan kemandirian, di mana seseorang tidak terlalu bergantung pada orang lain untuk mengambil tindakan atau membuat keputusan yang sulit.

5.      Moral dan Etika 

Keberanian tidak hanya berkaitan dengan tindakan yang berisiko secara fisik atau materi, tetapi juga dapat melibatkan keberanian moral atau etika. Ini mencakup kemampuan untuk bertindak sesuai dengan nilai-nilai dan prinsip yang benar, bahkan jika itu tidak populer atau sulit. Keberanian dapat bersifat relatif dan dapat diterapkan dalam berbagai konteks kehidupan, seperti dalam pekerjaan, hubungan pribadi, atau dalam mengatasi tantangan kehidupan sehari-hari. Setiap individu memiliki tingkat keberanian yang berbeda-beda, dan kemampuan untuk mengembangkan keberanian dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti pengalaman hidup, nilai-nilai personal, dan lingkungan sekitar.

 

Tak Gentar Hadapi Tantangan


Mengawali perjuangan-Nya untuk meraih cita-cita-Nya menjadi Buddha, Bodhisattva Siddharta mengalami hambatan luar biasa. Dia berjuang keras melawannya. Berikut adalah hambatan yang dilalui Bodhisattva Siddharta untuk mencapai kebuddhaan.

1.      Dari dalam istana, Bodhisattva Siddharta mendapat hambatan dari ayahanda, Raja Suddhodana. Beliau tidak boleh melihat empat peristiwa (orang tua, orang sakit, orang mati, dan petapa suci).

2.      Hambatan lain, Beliau dalam pengawasan ketat agar tidak keluar istana. Berkat bantuan dewa, tak seorang pun mengetahuinya. Di tengah malam, Bodhisattva Siddharta berhasil keluar istana dengan menunggang kuda Kanthaka ditemani oleh Channa, kusirnya. Beliau berhasil mencukur rambut, melepas mahkota kerajaan, dan menjadi petapa.

3.      Dengan berkelana untuk berguru kepada Alara Kalama dan Uddaka Ramaputta. Namun, Pangeran Siddharta tidak puas dengan pengetahuan yang diperoleh dari dua guru itu. Akhirnya, Beliau pun meninggalkan kedua gurunya itu.

4.      Perjuangan masih berlanjut terus. Pertapaan keras dengan cara menyiksa diri telah dilakukan. Bodhisattva Siddharta beranggapan bahwa dengan cara menyiksa diri, Beliau dapat meraih kesuksesan, yakni mencapai kebuddhaan. Namun, perjuangan selama 6 (enam) tahun menyiksa diri di Hutan Uruvela itu akhirnya gagal total.

5.      Praktik penyiksaan diri telah ditinggalkan. Jalan Tengah dijalaninya untuk meneruskan perjuangan setelah mendapat pelajaran dari penyanyi ronggeng. “Jika senar gitar ditarik terlalu kencang dan terlalu kendor, suaranya akan lenyap. Namun, jika senar gitar ditarik dengan sedang, akan menghasilkan suara yang nyaring/sesuai.” Pelajaran berharga dari syair yang dinyanyikan penari menyadarkan Bodhisattva Siddharta. Bodhisattva sadar bahwa selama enam tahun Beliau terlalu menarik keras kehidupan-Nya. Bodhisattva mengubah cara berlatih dan meneruskan perjuanganNya. Dia pun akhirnya makan dan minum untuk mendukung pencapaian kebuddhaan.


Menang Melawan Tantangan


Saatnya telah tiba. Kini, Bodhisattva Siddharta berhasil mewujudkan cita-cita-Nya meraih Penerangan Sempurna di bawah pohon Bodhi dan bergelar Sammasambuddha Gotama. Namun demikian, nafsu penggoda (Mara) masih mengintai-Nya dan mencoba mengganggu kembali. Orang-orang yang merasa iri hati kepada-Nya juga mencoba mengganggu dan menghalangi Buddha dalam menyebarkan Dharma. 

 

1.      Kini, Bodhisattva Siddharta memperoleh kemenangan setelah mengalahkan serbuan bertubi-tubi dari pasukan Mara penggoda. Akhirnya, dicapailah cita-cita-Nya dan bergelar Sammasabuddha. Namun demikian, Mara masih tidak menyerah walaupun Bodhisattva Siddharta telah menjadi Buddha. Mara masih mengganggu kembali.

2.      Pada minggu kelima setelah mencapai Penerangan Sempurna, Buddha bermeditasi di bawah pohon beringin (Ajapala Nigrodha), tidak jauh dari pohon Bodhi. Di sinilah, tiga orang anak Mara, yaitu Tanha, Arati, dan Raga masih berusaha untuk mengganggu-Nya. Mereka menampakkan diri sebagai tiga orang gadis yang cantik sedang menari diiringi nyanyian yang merdu, berusaha untuk merayu dan menarik perhatian Buddha. Namun, Buddha menutup mata-Nya dan tidak mau melihat sehingga akhirnya, tiga anak Mara itu meninggalkan Buddha.

3.    Dalam menyebarkan Dharma, Buddha juga tidak lepas dari hambatan. Devadatta adalah salah satunya. Dia selalu mengganggu Buddha dengan berbagai cara. Bahkan, beberapa kali, dia ingin membunuh Buddha. Namun, Buddha tak bisa dibunuh oleh siapa pun dengan cara apa pun. Bukti kejahatan Devadatta untuk membunuh Buddha antara lain menyewa para pemanah, melepaskan gajah mabuk, mengadu domba siswa-siswa Buddha, dan menggulingkan batu besar dari puncak bukit. Karma buruknya berbuah. Semua kejahatan Devadatta menyebabkan dia mati ditelan bumi dan terlahir di Neraka Avici.

Pelajaran dari kejadian G 30 S PKI

G30S PKI

G30S PKI adalah sebuah peristiwa bersejarah yang terjadi pada malam tanggal 30 September hingga awal 1 Oktober 1965 di Indonesia. Peristiwa ini juga dikenal dengan sebutan Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh) dan Gestok (Gerakan Satu Oktober).

Gerakan ini melibatkan pembunuhan enam perwira tinggi militer Indonesia dan beberapa orang lainnya dalam usaha percobaan kudeta yang kemudian dituduhkan kepada anggota Partai Komunis Indonesia (PKI).

Sejarah G30S PKI

Peristiwa G30S PKI terjadi pada masa pemerintahan Presiden Sukarno yang menjalankan sistem “Demokrasi Terpimpin”. PKI, sebagai partai Stalinis terbesar di luar Tiongkok dan Uni Soviet, memiliki jumlah anggota yang sangat besar. Selain itu, PKI juga mengontrol gerakan serikat buruh dan gerakan petani di Indonesia. PKI memiliki lebih dari 20 juta anggota dan pendukung yang tersebar di seluruh daerah.

Pada bulan Juli 1959, parlemen dibubarkan dan Sukarno menetapkan konstitusi di bawah dekret presiden dengan dukungan penuh dari PKI. Sukarno juga memperkuat angkatan bersenjata dengan mengangkat para jenderal militer ke posisi yang penting. PKI menyambut baik sistem “Demokrasi Terpimpin” dan percaya bahwa mereka memiliki mandat untuk berkonsepsi dalam aliansi Konsepsi Nasionalis, Agama, dan Komunis (NASAKOM).

Namun, kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan kaum borjuis nasional dalam menekan gerakan independen kaum buruh dan petani tidak berhasil memecahkan masalah politik dan ekonomi yang mendesak. Masalah ekonomi seperti penurunan pendapatan ekspor, penurunan cadangan devisa, inflasi yang tinggi, dan korupsi birokrat dan militer menjadi semakin merajalela.

PKI juga menguasai banyak organisasi massa yang dibentuk oleh Sukarno untuk memperkuat dukungan bagi rezim Demokrasi Terpimpin. Dengan persetujuan Sukarno, PKI memulai kampanye untuk membentuk “Angkatan Kelima” yang terdiri dari pendukung bersenjata mereka. Namun, para petinggi militer menentang hal ini.

Dari tahun 1963, kepemimpinan PKI berusaha menghindari bentrokan antara aktivis massanya dengan polisi dan militer. Mereka berupaya menjaga “kepentingan bersama” antara polisi dan rakyat. Pemimpin PKI, D.N. Aidit, mengilhami slogan “Untuk Ketenteraman Umum Bantu Polisi”. Pada bulan Agustus 1964, Aidit mengimbau semua anggota PKI untuk menjaga hubungan yang baik dengan angkatan bersenjata dan mengajak para pengarang dan seniman sayap kiri untuk membuat karya-karya yang mendukung “massa tentara”.

Di akhir tahun 1964 dan awal tahun 1965, terjadi gerakan petani yang merampas tanah dari para tuan tanah besar. Bentrokan besar terjadi antara petani dan polisi serta pemilik tanah. Untuk mencegah konfrontasi revolusioner semakin berkembang, PKI mengimbau pendukungnya untuk tidak menggunakan kekerasan terhadap pemilik tanah dan meningkatkan kerja sama dengan unsur-unsur lain, termasuk angkatan bersenjata.

Pada awal tahun 1965, para buruh mulai menyita perusahaan-perusahaan karet dan minyak milik Amerika Serikat. PKI menjawab dengan memasuki pemerintahan secara resmi. Pada saat yang sama, para jenderal militer juga menjadi anggota kabinet. Menteri-menteri PKI duduk di sebelah petinggi militer dalam kabinet Sukarno dan terus mendorong citra bahwa angkatan bersenjata adalah bagian dari revolusi demokratis rakyat.

Tujuan G30S PKI

Gerakan 30 September PKI memiliki tujuan yang menjadi perdebatan dan interpretasi berbeda. Namun, beberapa tujuan umum yang dihubungkan dengan gerakan ini adalah:

1.         Pengambilalihan Kekuasaan

Tujuan utama gerakan ini diyakini adalah untuk mengambil alih kekuasaan pemerintahan di Indonesia. Anggota gerakan ini, yang diduga terhubung dengan PKI, berupaya melalui tindakan kudeta untuk merubah tata kelola politik negara sesuai dengan pandangan ideologi mereka.

2.         Mendukung Agendas Komunis

PKI adalah partai komunis yang memiliki pandangan sosialis dan komunis. Salah satu tujuan gerakan ini mungkin adalah menggeser politik nasional ke arah yang lebih sesuai dengan pandangan PKI, yang mencakup redistribusi kekayaan, reforma agraria, dan penghapusan kapitalisme.

3.         Menghapus Pengaruh Militer

Gerakan ini juga mungkin bertujuan untuk melemahkan pengaruh militer dalam politik Indonesia. Keterlibatan perwira tinggi militer dalam gerakan ini dapat diartikan sebagai usaha untuk menggantikan struktur kekuasaan yang ada dengan kekuatan yang lebih sesuai dengan ideologi komunis.

4.         Menghapus Faksi – Faksi Tertentu

Ada juga pandangan bahwa gerakan ini bertujuan untuk menghilangkan faksi-faksi tertentu dalam militer atau politik yang dianggap tidak sejalan dengan tujuan gerakan atau PKI. Pembunuhan perwira tinggi militer mungkin juga diartikan sebagai langkah untuk mengurangi resistensi terhadap perubahan politik yang direncanakan.

5.         Menciptakan Perubahan Sosial

PKI memiliki visi perubahan sosial yang luas, termasuk perubahan dalam distribusi kekayaan dan penghapusan ketidaksetaraan. Gerakan ini mungkin bertujuan untuk mendorong perubahan sosial melalui pengambilalihan kekuasaan dan implementasi kebijakan-kebijakan komunis.

Perwira yang Gugur

Dalam peristiwa Gerakan 30 September PKI, tujuh perwira tinggi militer Indonesia tewas sebagai hasil dari serangan yang terjadi. Para perwira yang gugur adalah:

1.         Letnan Jenderal Anumerta Ahmad Yani

2.         Mayor Jendral Raden Soeprapto

3.         Mayor Jendral Mas Tirtodarmo Haryono

4.         Mayor Jendral Siswondo Parman

5.         Brigadir Jendral Donal Isaac Panjaitan

6.         Brigadir Jendral Sutoyo Siswodiharjo

7.         Letnan Pierre Aandreas

Kematian perwira-perwira ini merupakan bagian dari peristiwa tragis yang mengguncangkan Indonesia pada waktu itu dan membawa dampak yang signifikan terhadap dinamika politik dan militer di negara tersebut.


sumber: https://fahum.umsu.ac.id/g30s-pki/

Sabtu, 21 September 2024

Menghadapi Ketidakpastian dengan Ketenangan

Menghadapi Ketidakpastian dengan Ketenangan

(Menurut Perspektif Buddha)

 

Konsep Ketidakpastian dalam Agama Buddha (Tiga Ciri Kehidupan) 

Dalam Agama Buddha, terdapat tiga ciri atau tiga sifat pokok yang meliputi ketidakpastian (Anicca), penderitaan (Dukkha), dan tanpa diri (Anatta). Ciri adalah sifat umum, ciri kehidupan terjadi pada segala sesuatu di dunia ini, baik pada makhluk hidup maupun benda mati dan alam.

1.        Anicca (Ketidakpastian)

Anicca berarti sifat sementara dari segala sesuatu. Tidak ada yang tetap atau kekal dalam dunia ini. Menurut ajaran Buddha, segala sesuatu, mulai dari benda mati sampai makhluk hidup, mengalami proses perubahan yang tak terhindarkan. Misalnya, cuaca berubah, bunga mekar dan layu, manusia lahir dan mati. Kesadaran akan Anicca mengajarkan kita untuk tidak terlalu melekat pada hal-hal yang bersifat sementara dan untuk tidak terlalu kecewa ketika perubahan terjadi.

2.        Dukkha (Penderitaan)

Kata "Dukkha" berasal dari bahasa Pali (dalam bahasa Sanskerta disebut "Duhkha"), yang secara harfiah dapat diterjemahkan sebagai penderitaan, kesedihan, atau ketidakpuasan. Dukkha tidak hanya merujuk pada penderitaan fisik atau emosional yang jelas, tetapi juga mencakup ketidakpuasan yang lebih mendalam terhadap kondisi eksistensial manusia, seperti penuaan, penyakit, dan kematian. 

3.        Anatta (Tanpa Diri)

Kata "Anatta" berasal dari bahasa Pali (dalam bahasa Sanskerta disebut "Anatman"), yang secara harfiah berarti "tidak ada-ego" atau "tidak ada-diri".

Anatta mengajarkan bahwa tidak ada entitas atau substansi yang merupakan "diri" yang kekal di dalam individu. Artinya, tidak ada inti yang tetap dari "saya" yang terpisah dari proses mental dan fisik yang terus berubah.

Materi ketidakpastian dalam agama Buddha, yang disebut Anicca, Dukkkha, Anatta merupakan konsep yang sangat mendalam dan relevan dalam pemahaman spiritual dan kehidupan sehari-hari. Berikut ini adalah beberapa simpulan penting tentang konsep ketidakpastian yang diajarkan dalam agama Buddha.

1.      Segala Sesuatu Bersifat Sementara: Anicca mengajarkan bahwa tidak ada yang kekal di dunia ini. Segala sesuatu, termasuk kebahagiaan, penderitaan, dan keadaan fisik, berubah seiring waktu.

2.      Pemahaman Terhadap Sifat Kehidupan: Dengan menyadari sifat Anicca, kita menjadi lebih bijaksana dalam menghadapi perubahan dan tantangan dalam kehidupan. Ini membantu kita untuk tidak terlalu terikat pada hal-hal yang bersifat sementara.

3.      Pembebasan dari Penderitaan: Pemahaman yang mendalam tentang Anicca merupakan langkah pertama menuju pembebasan dari siklus penderitaan (Samsara) dalam Agama Buddha. Ketika kita menerima dan memahami ketidakpastian sebagai bagian alami dari kehidupan, kita dapat mengurangi ketegangan, kecemasan, dan kekecewaan.

4.      Pentingnya Ketenangan: Agama Buddha mengajarkan bahwa ketenangan pikiran dan meditasi adalah sarana untuk mencapai pemahaman yang lebih dalam tentang Anicca. Dengan merenungkan dan mengamati perubahan dalam diri dan dunia, kita dapat mencapai kedamaian batin yang lebih besar.

5.      Pengembangan Kebijaksanaan: Konsep Anicca mengundang kita untuk mengembangkan kebijaksanaan (paññā) yang mendalam dalam melihat dunia dan memahami bahwa semua fenomena bersifat tidak kekal.

 

Kita dapat meneladan semangat Buddha Sakyamuni dalam menghadapi ketidakpastian dengan ketenangan.

1.      Memiliki tekad yang kuat: Percayalah pada diri sendiri dan kemampuan Anda untuk mencapai tujuan.

2.      Bersikap sabar: Kemajuan membutuhkan waktu dan usaha. Jangan mudah menyerah ketika Anda menghadapi rintangan.

3.      Berlatih kebijaksanaan: Gunakan akal sehat dan pemahaman Anda untuk membuat keputusan yang tepat.

4.      Mengembangkan welas asih: Bersikaplah baik dan penuh kasih sayang kepada diri sendiri dan orang lain.

5.      Bermeditasi: Meditasi dapat membantu Anda untuk fokus, tenang, dan mendapatkan wawasan baru.

 

Kisah Buddha Sakyamuni dan orang-orang yang meneladan semangatnya menunjukkan kepada kita bahwa dengan tekad, kebijaksanaan, dan welas asih, kita dapat mengatasi segala hambatan dan mencapai kesuksesan. Pesan ini relevan bagi semua orang, terlepas dari latar belakang agama atau kepercayaan mereka.


Disampaikan dalam ceramah 22 September 2024

Di Vihara Sakyakirti Jambi