Bab I. Pendahuluan
1.1 Latar
Belakang masalah
Sebagian orang menyatakan bahwa korupsi di Indonesia sudah
membudaya dan telah merasuki seluruh sendi-sendi kehidupan bangsa. Sebagian
lain menyatakan bahwa korupsi belum membudaya, walaupun harus diakui korupsi
telah sangat meluas. Sebuah laporan Bank Dunia (Bank Dunia, 2003 : 42),
mengungkapkan bahwa Indonesia memiliki reputasi yang buruk dari segi korupsi
dan menjadi salah satu negara terkorup di dunia. Bahkan dari laporan Bank Dunia
itu (Ibid : 50), menemukan bahwa korupsi di Indonesia memiliki akar panjang ke
belakang yaitu sejak jaman VOC sebelum tahun 1800, dan praktek itu berlanjut
sampai masa-masa pasca kemerdekaan. Dari masa inilah Indonesia mewarisi
praktek-praktek seperti membayar untuk mendapatkan kedudukan di pemerintahan,
mengharapkan pegawai-pegawai menutup biaya di luar dari gaji mereka dan
lain-lain.
Pada masa Orde Baru yaitu selama 1967-1998, praktek korupsi
ini mendapat dukungan dan kesempatan luas pada masa itu yaitu dengan memberikan
dukungan kepada pengusaha-pengusaha besar, membangun konglomerat-konglomerat
baru dan memberikan kemudahan-kemudahan serta fasilitas, bahkan memberikan
kesempatan kepada para pengusaha dan kroni Presiden untuk mempengaruhi politisi
dan birokrat.
Sejak lepasnya pemerintahan Orde Baru, masalah pemberantasan
korupsi belum juga diselesaikan dengan baik. Niat untuk memberantas korupsi
cukup kuat. Berbagai peraturan dan reformasi perundang-undangan tentang korupsi
dilahirkan, tapi tidak membawa hasil yang memadai. Bahkan banyak korupsi baru
yang terungkap justeru terjadi setelah masa reformasi. Fenomena ini membuat
kita bertanya kembali dari sisi filsafat, sebenarnya apa yang terjadi dengan
korupsi, mungkinkah kita salah mengartikan tentang mana yang dianggap korupsi
dan mana yang tidak korupsi. Makalah singkat ini akan mengkaji kembali dari
sudut pandang filsafat ilmu tentang fenomena korupsi di Indonesia.
1.2 Rumusan
Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah
ini adalah :
1. Apakah yang dimaksud dengan korupsi?
2. Bagaimanakah Filsafat idealisme dalam
memandang korupsi di Indonesia?
3. Bagaimanakah Filsafat Materialisme
dalam memandang korupsi di Indonesia?
4. Bagaimanakah Filsafat Pragmatisme dalam
memandang korupsi di Indonesia?
1.3 Batasan Masalah
Dalam penulisan makalah ini penulis membatasi
permasalahan yang berkenaan dengan “fenomena Korupsi Di Indonesia Dari Sudut Pandang
Filsafat idealisme,materialisme, dan
pragmatisme”.
1.4 Tujuan
Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan
menjelaskan :
1. Pengertian Korupsi
2. Filsafat idealisme dalam memandang
korupsi di Indonesia
3. Filsafat Materialisme dalam memandang
korupsi di Indonesia
4. Filsafat Pragmatisme dalam memandang
korupsi di Indonesia.
Bab II Pembahasan
2.1 Pengertian
Korupsi
Menurut Baharuddin Lopa (Baharuddin Lopa & Moh. Yamin,
1987 : 6), pengertian umum tentang tindak pidana korupsi adalah suatu tindak
pidana yang berhubungan dengan perbuatan penyuapan dan manipulasi serta
perbuatan-perbuatan lain yang merugikan atau dapat merugikan keuangan atau
perekonomian negara, merugikan kesejahteraan dan kepentingan rakyat.
Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi (UU 31/1999), memberi
pengertian tentang tindak pidana korupsi adalah “
Kedua pengertian tersebut hanyalah
dapat dimengerti dengan baik oleh para ahli hukum atau pejabat dalam bidang
hukum. Kalangan awam menganggap bahwa pengertian korupsi bisa jauh lebih luas
dari itu, yaitu segala perbuatan tercela yang dilakukan oleh pejabat dan
pegawai negeri yang terkait dengan kekayaan negara. Apakah perbuatan itu
merugikan negara atau tidak, hal itu bukanlah persoalan utama.
Untuk mengkaji lebih jauh, kita merujuk pada apa yang
dimaksud korupsi dalam undang-undang mengenai pemberantasan tindak pidan
korupsi. Beberapa kata kunci yang merupakan unsur tindak pidana yang perlu
didalami yaitu kata-kata: perbuatan”, “melawan hukum”, memperkaya diri sendiri
atau orang lain”, merugikan
keuangangan/perekonomian negara”, “menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau
sarana yang ada padanya,menguntungkan diri sendiri atau orang lain”.
Dengan batasan pengertian korupsi yang demikian belum tentu
sudah mengakomodir seluruh pandangan masyarakat tentang apa yang dianggap
sebagai korupsi. Seperti yang ditulis oleh Jeremy Pope (Jeremy Pope, 2003 : 31)
ternyata bahwa pandangan responden tentang apa yang disebut “korup” dan apa
yang tidak sangat berbeda satu sama lain. Seperti dalam laporan penelitian di
New South Wales, Australia, dikatakan “penting sekali bagi semua orang yang
ingin turut mengurangi korupsi untuk menyadari bahwa apa yang diartikan sebagai
perilaku korupsi akan berbeda-beda dari satu responden ke responden lain.
Bahkan konvensi PBB mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi tidak berani
memberikan definisi tentang apa yang disebut korupsi apa yang tidak merupakan
korupsi. Karena itu upaya pemberantasan korupsi semakin sulit karena tidak ada
pengertian yang sama mengenai apa yang dimaksud dengan korupsi.
Demikian juga halnya di Indonesia dengan rumusan, yang
demikian rumit dapat mempersempit arti apa yang dimaksud perbuatan
korupsi. Karena pengertian yang sempit itu, seorang pejabat atau pegawai negeri
yang sebenarnya telah melakukan perbuatan tercela yang seharusnya
diputuskan/divonis korupsi, tapi bisa dilepaskan dari tuntutan hukum.
Sebaliknya dengan rumusan yang demikian juga dapat memperluas apa yang dimaksud
korpsi, sehingga orang-orang yang sebenarnya bekerja baik dan efektif serta
efisien, karena dianggap merugikan keuangan negara dan menguntungkan orang lain
walaupun dirinya tetap hidup miskin dapat divonis sebagai korupsi padahal bisa
jadi tidak ada sedikitpun maksud dari yang bersangkutan untuk melakukan
perbuatan tercela yang berupa korupsi.
Karena itu,
sebenarnya inti dari “perbuatan korupsi” adalah “perbuatan tercela”. Untuk
menghindari bias pengertian perbuatan tercela ini maka perlu dibuat suatu
standar etik yang berlaku dalam birokrasi tentang apa yang boleh dan apa yang
tidak boleh dilakukan dalam menentukan suatu kebijakan publik. Bila
mempergunakan batasan yang terlalu formil dan kaku akan merumitkan upaya untuk
mengurangi korupsi.
2.2 Filsafat
idealisme dalam memandang korupsi di Indonesia
Pengertian
korupsi pada perundang-undangan kita adalah cara pandang yang didasarkan pada
filsafat idealisme, yang hanya mengandalkan dunia ide. Apa yang ada dalam
kepala itulah yang diasumsikan sebagai kebenaran, padahal ide tidak bisa
menjawab realitas material yang sesungguhnya terjadi. Dalam perumusan tindak
pidana korupsi telah menjadikan ide sebagai kebenaran dan ide itu dipositifkan
kedalam undang-undang. Padahal ide banyak hambatannya dalam melihat suatu
kebenaran. Sir Francis Bacon seorang filosof Inggeris, (F.Budi Hardiman, 2004 :
28-29) tidak begitu yakin dengan kebenaran ide, karena ide kadang-kadang
terhambat oleh adanya “idola”, yaitu rintangan yang berupa
tradisi-tradisi yang merasuki jalan pikiran kita sehingga kita tidak kritis
menilai sesuatu.
Menurut F. Bacon, ada 4 macam “idola” yang menjadi
rintangan berpikir kritis itu yaitu, pertama; idola trubus, yaitu
semacam prasangka-prasangka yang dihasilkan oleh atas keajekan-keajekan tatanan
alamiah sehingga tak sanggup memandang alam secara obyektif. Kedua idola
cave, yaitu pengalaman-pengalaman dan minta-minat kita pribadi mengarahkan
kita melihat dunia, sehingga dunia obyektif dikaburkan. Ketiga idola fora,
yaitu pendapat atau kata-kata orang yang diterima begitu saja sehingga
mengarahkan keyakinan-keyakinan dan penilaian kita yang tak teruji. Dan keempat
idola theatra, yaitu sistem-sistem filsafat tradisional yang merupakan
kenyataan subyektif dari para filosofnya.
2.3
Filsafat Materialisme dalam memandang
korupsi di Indonesia
Pengertian
korupsi ini harus juga dilihat dari sudut pandang yang berbeda yaitu sudut
pandang filsafat materialisme, sehingga dapat dipahami bahwa beberapa perbuatan
untuk memperoleh kekayaan agar dapat membantu orang lain, memberikan banyak
sumbangan sosial dan keagamaan, membantu keluarga, membantu negara, mendapatkan
kehormatan dan kedudukan dalam masyarakat, menguntungka rakyat secara umum atau
menguntungkan negara secara tidak langsung dan perbuatan-perbuatan lain yang
terpuji seharusnya tidak digolongkan sebagai perbuatan korupsi. Sementara,
dengan kondisi pragmatis keuangan pegawai yang bersumber dari gaji adalah tidak
mungkin memenuhi kebutuhan material pegawai negeri. Pandangan dan kebutuhan
materialistis itulah yang menjadi sebabnya korupsi.
Korupsi harus juga dilihat dari hukum kausalitas, yaitu
sesuatu tidak mungkin terjadi kalau tidak ada sebabnya. Sebab itulah yang
menimbulkan akibat. Karupsi adalah akibat, yiatu akibat dari sistem yang
longgar. Sistem yang memberikan peluang orang untuk melakukan korupsi. Korupsi
juga adalah akibat dari kehilangan idealisme dan pengutamaan pada materialisme.
Jika cara pandanganya adalah filsafat materialisme maka ada banyak aspek
perbuatan korupsi yang bisa dibenarkan. Mungkin inilah pula kenapa korupsi
tidak sepenuhnya dapat diatasi di Indonesia karena bagian terbesar masyarakat
kita sudah dirasuki oleh pikiran materialisme dan penghambaan terhadap materi
dan kekayaan.
Perbuatan menyalahgunakan kewenangan atau kedudukan dengan
maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain walaupun dapat merugikan
negara, tidak selalu berkonotasi jahat sehingga harus dihukum dan dianggap
korupsi jika dipandang dari filsafat materialisme itu. Dalam banyak kasus
korupsi, koruptor merasa telah banyak berjasa pada negara dengan berjuang dan
bekerja keras sehingga negara diuntungkan dari kerjanya itu. Negara pada sisi
lain tidak memberikan kontra prestasi material kepada yang bersangkutan
sehingga yang bersangkutan merasa sah-sah saja mendapatkan uang dari negara
dalam berbagai bentuknya
Dengan demikian perlu dikaji kembali apa yang dimkasud
perbuatan korupasi itu sehingga kita dapat memberikan definisi yang tepat
tentang yang disebut “korupsi” dan apa yang tidak “korupsi”, dan tidak bisa
dilihat hanya dari satu sudut pandang saja pikiran ideal dari para pembentuk
undang-undang yang sebenarnya bisa bias kalau dilihat dari sisi empiris.
Disamping itu pendekatan hukum untuk memahami korupsi tidak saja dilakukan
dengan pendekatan dari pandangan positivis, tetapi juga dilihat dari sudut pandang
legal realism.
2.4
Filsafat Pragmatisme dalam memandang
korupsi di Indonesia.
Mengamati kenyataannya yang terjadi di Indonesia,
mendapatkan kekayaan dari keuangan negara apakah legal atau tidak legal dapat
mengenangkan banyak orang bahkan pelakunya mendapatkan penghargaan, pujian
bahkan status sosial yang lebih tinggi karena kekayaannya. Ia dapat memberikan
bantuan sosial, sumbangan keagamaan dan dapat membantu keluarga yang kekurangan
bahkan dapat membantu negara secara tidak langsung dengan banyak menabung dan
menyimpan uang di bank yang sangat bermanfaat untuk memajukan perekonomia
negara. Orang kaya akan banyak mendapat pujian dan decak kagum dari masyarakat,
tidak perduli apakah kekyaan itu berasal dari pekerjaan legal atau tidak legal.
Bahkan banyak anggota masyarakat yang berani mati membela orang kaya. Jadi
tidak seluruhnya benar bahwa korupsi merugikan orang lain dan merugikan negara
atau merupakan perbuatan tercela. Kita harus melihat dari filsafat apa kita
melihatnya.
Sementara, dengan kondisi pragmatis keuangan pegawai yang
bersumber dari gaji adalah tidak mungkin memenuhi kebutuhan material pegawai
negeri. Pandangan dan kebutuhan materialistis itulah yang menjadi sebabnya
korupsi.
Demikian juga persoalan suap. Dari sudut mana kita memandang
bahwa suap itu adalah perbuatan tercela yang harus dihukum. Dalam banyak hal
“suap” itu dibutuhkan untuk efisiensi dan efektifitas dalam filsafat
kapitalisme dan ekonomi pasar. Pasarlah yang menentukan seseorang untuk
mengambil suatu putusan. Persaingan kehidupan modern sekarang selalu diukur
dengan kecepatan dan ketepatan dalam bertindak, karena jika tidak, maka pasti
akan ketinggalan.
Itulah filsafat abad
modern. Ketaatan pada aturan main kadang dianggap bisa menghambat kemajuan
ekonomi dan persaingan dalam dunia bisnis yang serba cepat. Karena itulah
negosiasi pelanggaran lalulintas di jalan antara polisi dan pelanggar
lalulintas untuk memberi dan menerima suap adalah lebih efektif dan efisien
daripada diproses tilang yang harus datang ke pengadilan menghabiskan waktu dan
biaya yang bisa lebih besar. Demikian juga dalam pengurusan ijin-ijin usaha dan
lisensi yang membutuhkan kecepatan maka pemberian hadiah dan fasilitas bagi
penentu kebijakan akan dapat mempercepat penyelesaian perijinan dan dikeluarkanya
kerbijakan itu. Pemegang saham dan atasan di perusahaan akan memberikan
apresiasi yang luar biasa atas pekerjaan seseorang atau pimpinan perusahaan
yang efektif dan efisien untuk kemajuan perusahaan dan secara tidak langsung
akan menguntungkan bagi negara karena negara akan mendapat pemasukan pajak yang
lebih besar dan karyawan akan mendapat kesejahteraan lebih baik. Jadi “suap”
dari sudut pandang filsfat ekonomi pasar yang mengedepankan efektifitas dan
efisiensi dapat merupakan perbuatan tidak tercela dan tidak merugikan negara
atau orang lain.
Bab III Penutup
1.
Kesimpulan
Dari uraian tersebut di atas dari kajian filsafat ilmu
terdapat banyak kekurangan yang ditemukan dalam memberikan pengertian tentang
korupsi, terutama dari segi rumusan perbuatan pidana korupsi yang tercantum
dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi. Rumusan tersebut
ternyata tidak menjangkau seluruh pandangan masyarakat tentang apa yang
dianggap “korup” dan apa yang tidak. Sehingga rumusan tersebut potensial tidak
menyentuh seluruh aspek perbuatan tercela yang seharusnya dianyatakan sebagai
perbuatan “korup”, dan bahkan dapat menjerat seseorang sebagai telah melakukan
korupsi, sebenarnya bukanlah perbuatan tercela yang seharusnya tidak dapat
dihukum.
Persoalan tersebut disebabkan oleh tidak jelasnya
epistemologi penentuan suatu perbuatan sebagai perbuatan korupsi. Penulis
melihat bahwa pembentuk undang-undang lebih banyak mempergunakan pendekatan
dari sisi idealisme dan tidak berdasarkan pendekatan sisi materislisme dan empiris.
Disamping itu, dari sisi filsafat hukum pendekatan yang dipergunakan lebih
menonjolkan sisi pandang positivis dibanding sudut pandang prgamatis dan “legal
realisme”. Apa yang diuraikan di atas adalah baru dari satu persoalan saja
yaitu persoalan rumusan tindak pidana korupsi dan suap belum lagi
persoalan-persoalan lain yang diatur dalam undang-undang pemberantasan korupsi
itu.
2.
Saran
Penggunaan pendekatan yang lebih komprehensif dalam melihat korupsi akan sangat berpengaruh terhadap
upaya pemberantasan korupsi. Kesalahan dalam pendekatan mengakibatkan salah
persepsi terhadap korupsi dan akan menyebakan terhambatnya pemberantasan
korupsi. Untuk penyempurnaan ke depan perlu pendekatan yang lebih komprehensip
dalam membuat undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi dan dalam
implementasinya yaitu tidak saja menggunakan pendekatan idealisme, tapi perlu
juga pendekatan lain yaitu pendekatan dari sudut pandang materialisme dan
pragmatisme. Penggunaan pendekatan yang utuh seperti ini akan dapat memberikan
pemahaman utuh tentang tindak pidana korupsi.
—————————
DAFTAR
PUSTAKA
Baharuddin
Lopa & Moh Yamin, Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Undang-Undang No.
3 tahun 1971) Breikut Pembahasan serta Penerapannya Dalam Praktek, Alumni,
Bandung, 1987.
Budi
Hardiman, F., Filsfat Modern, Dari Machiavelli Sampai Nietzhe,
PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004.
Donald
Walters, J., Crisis in Modern Thought, Menyelami Kemajuan Ilmu Pengetahuan
Dalam Lingkup Filsafat dan Hukum Kodrat, Pt Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 2003.
Conny
Semiawan, at.al., Panorama Filsafat Ilmu, Landasan Perkembangan Ilmu
Sepanjang Zaman, Penerbit Teraju, Jakarta, 2005.
Mohammad
Muslih, Filsafat Ilmu, Kajian Atas Asumsi dasar Paradigma dan Kerangka Teori
Ilmu Pengetahuan, Cet. Kedua, Penerbit Belukar, Yogyakarta, 2005.
Indriyanto
Seno Adji, Korupsi dan hukum Pidana, Kantor Pengacara dan Konsultan
Hukum Prof. Oemar Seno Adji & Rekan, Jakarta, 2001.
Jeremy
Pope, Strategi Memberantas Korupsi, Elemen Sistem Integrasi Nasional,
Yayasan Obor Indonesia dan Transparency International Indonesia, Jakarta, 2003.
Bank
Dunia (The World Bank), Memerangi Korupsi di Indonesia, Kantor Bank
Dunia Jakarta, 2003.
United
Nations Convention Against Corruption (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
menentang Korupsi, 2003), Forum Pemantau Pemberantasan Korupsi, Perum
Percetakan Negara RI, Jakarta, 2004).
Undang-Undang
Republik Indonesia No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar