Sabtu, 12 Januari 2013

FENOMENA KORUPSI DI INDONESIA DARI SUDUT PANDANG FILSAFAT IDEALISME,MATERIALISME, DAN PRAGMATISME

Bab I. Pendahuluan
*       
1.1 Latar Belakang masalah
Sebagian orang menyatakan bahwa korupsi di Indonesia sudah membudaya dan telah merasuki seluruh sendi-sendi kehidupan bangsa. Sebagian lain menyatakan bahwa korupsi belum membudaya, walaupun harus diakui korupsi telah sangat meluas. Sebuah laporan Bank Dunia (Bank Dunia, 2003 : 42), mengungkapkan bahwa Indonesia memiliki reputasi yang buruk dari segi korupsi dan menjadi salah satu negara terkorup di dunia. Bahkan dari laporan Bank Dunia itu (Ibid : 50), menemukan bahwa korupsi di Indonesia memiliki akar panjang ke belakang yaitu sejak jaman VOC sebelum tahun 1800, dan praktek itu berlanjut sampai masa-masa pasca kemerdekaan. Dari masa inilah Indonesia mewarisi praktek-praktek seperti membayar untuk mendapatkan kedudukan di pemerintahan, mengharapkan pegawai-pegawai menutup biaya di luar dari gaji mereka dan lain-lain.
Pada masa Orde Baru yaitu selama 1967-1998, praktek korupsi ini mendapat dukungan dan kesempatan luas pada masa itu yaitu dengan memberikan dukungan kepada pengusaha-pengusaha besar, membangun konglomerat-konglomerat baru dan memberikan kemudahan-kemudahan serta fasilitas, bahkan memberikan kesempatan kepada para pengusaha dan kroni Presiden untuk mempengaruhi politisi dan birokrat.
Sejak lepasnya pemerintahan Orde Baru, masalah pemberantasan korupsi belum juga diselesaikan dengan baik. Niat untuk memberantas korupsi cukup kuat. Berbagai peraturan dan reformasi perundang-undangan tentang korupsi dilahirkan, tapi tidak membawa hasil yang memadai. Bahkan banyak korupsi baru yang terungkap justeru terjadi setelah masa reformasi. Fenomena ini membuat kita bertanya kembali dari sisi filsafat, sebenarnya apa yang terjadi dengan korupsi, mungkinkah kita salah mengartikan tentang mana yang dianggap korupsi dan mana yang tidak korupsi. Makalah singkat ini akan mengkaji kembali dari sudut pandang filsafat ilmu tentang fenomena korupsi di Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1.    Apakah yang dimaksud dengan korupsi?
2.    Bagaimanakah Filsafat idealisme dalam memandang korupsi di Indonesia?
3.    Bagaimanakah Filsafat Materialisme dalam memandang korupsi di Indonesia?
4.    Bagaimanakah Filsafat Pragmatisme dalam memandang korupsi di Indonesia?
1.3 Batasan Masalah
Dalam penulisan makalah ini penulis membatasi permasalahan yang berkenaan dengan “fenomena Korupsi Di Indonesia Dari Sudut Pandang Filsafat idealisme,materialisme, dan pragmatisme”.
1.4 Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan menjelaskan :
1.    Pengertian Korupsi
2.    Filsafat idealisme dalam memandang korupsi di Indonesia
3.    Filsafat Materialisme dalam memandang korupsi di Indonesia
4.    Filsafat Pragmatisme dalam memandang korupsi di Indonesia.

Bab II Pembahasan
2.1 Pengertian Korupsi
Menurut Baharuddin Lopa (Baharuddin Lopa & Moh. Yamin, 1987 : 6), pengertian umum tentang tindak pidana korupsi adalah suatu tindak pidana yang berhubungan dengan perbuatan penyuapan dan manipulasi serta perbuatan-perbuatan lain yang merugikan atau dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara, merugikan kesejahteraan dan kepentingan rakyat. Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi (UU 31/1999), memberi pengertian tentang tindak pidana korupsi adalah “
Kedua pengertian tersebut hanyalah dapat dimengerti dengan baik oleh para ahli hukum atau pejabat dalam bidang hukum. Kalangan awam menganggap bahwa pengertian korupsi bisa jauh lebih luas dari itu, yaitu segala perbuatan tercela yang dilakukan oleh pejabat dan pegawai negeri yang terkait dengan kekayaan negara. Apakah perbuatan itu merugikan negara atau tidak, hal itu bukanlah persoalan utama.
Untuk mengkaji lebih jauh, kita merujuk pada apa yang dimaksud korupsi dalam undang-undang mengenai pemberantasan tindak pidan korupsi. Beberapa kata kunci yang merupakan unsur tindak pidana yang perlu didalami yaitu kata-kata: perbuatan”, “melawan hukum”, memperkaya diri sendiri atau orang lain”, merugikan keuangangan/perekonomian negara”, “menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya,menguntungkan diri sendiri atau orang lain”.
Dengan batasan pengertian korupsi yang demikian belum tentu sudah mengakomodir seluruh pandangan masyarakat tentang apa yang dianggap sebagai korupsi. Seperti yang ditulis oleh Jeremy Pope (Jeremy Pope, 2003 : 31) ternyata bahwa pandangan responden tentang apa yang disebut “korup” dan apa yang tidak sangat berbeda satu sama lain. Seperti dalam laporan penelitian di New South Wales, Australia, dikatakan “penting sekali bagi semua orang yang ingin turut mengurangi korupsi untuk menyadari bahwa apa yang diartikan sebagai perilaku korupsi akan berbeda-beda dari satu responden ke responden lain. Bahkan konvensi PBB mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi tidak berani memberikan definisi tentang apa yang disebut korupsi apa yang tidak merupakan korupsi. Karena itu upaya pemberantasan korupsi semakin sulit karena tidak ada pengertian yang sama mengenai apa yang dimaksud dengan korupsi.
Demikian juga halnya di Indonesia dengan rumusan, yang demikian rumit dapat mempersempit arti apa yang dimaksud perbuatan korupsi. Karena pengertian yang sempit itu, seorang pejabat atau pegawai negeri yang sebenarnya telah melakukan perbuatan tercela yang seharusnya diputuskan/divonis korupsi, tapi bisa dilepaskan dari tuntutan hukum. Sebaliknya dengan rumusan yang demikian juga dapat memperluas apa yang dimaksud korpsi, sehingga orang-orang yang sebenarnya bekerja baik dan efektif serta efisien, karena dianggap merugikan keuangan negara dan menguntungkan orang lain walaupun dirinya tetap hidup miskin dapat divonis sebagai korupsi padahal bisa jadi tidak ada sedikitpun maksud dari yang bersangkutan untuk melakukan perbuatan tercela yang berupa korupsi.
 Karena itu, sebenarnya inti dari “perbuatan korupsi” adalah “perbuatan tercela”. Untuk menghindari bias pengertian perbuatan tercela ini maka perlu dibuat suatu standar etik yang berlaku dalam birokrasi tentang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan dalam menentukan suatu kebijakan publik. Bila mempergunakan batasan yang terlalu formil dan kaku akan merumitkan upaya untuk mengurangi korupsi.
2.2 Filsafat idealisme dalam memandang korupsi di Indonesia
Pengertian korupsi pada perundang-undangan kita adalah cara pandang yang didasarkan pada filsafat idealisme, yang hanya mengandalkan dunia ide. Apa yang ada dalam kepala itulah yang diasumsikan sebagai kebenaran, padahal ide tidak bisa menjawab realitas material yang sesungguhnya terjadi. Dalam perumusan tindak pidana korupsi telah menjadikan ide sebagai kebenaran dan ide itu dipositifkan kedalam undang-undang. Padahal ide banyak hambatannya dalam melihat suatu kebenaran. Sir Francis Bacon seorang filosof Inggeris, (F.Budi Hardiman, 2004 : 28-29) tidak begitu yakin dengan kebenaran ide, karena ide kadang-kadang terhambat oleh adanya “idola”, yaitu rintangan yang berupa tradisi-tradisi yang merasuki jalan pikiran kita sehingga kita tidak kritis menilai sesuatu.
Menurut F. Bacon, ada 4 macam “idola” yang menjadi rintangan berpikir kritis itu yaitu, pertama; idola trubus, yaitu semacam prasangka-prasangka yang dihasilkan oleh atas keajekan-keajekan tatanan alamiah sehingga tak sanggup memandang alam secara obyektif. Kedua idola cave, yaitu pengalaman-pengalaman dan minta-minat kita pribadi mengarahkan kita melihat dunia, sehingga dunia obyektif dikaburkan. Ketiga idola fora, yaitu pendapat atau kata-kata orang yang diterima begitu saja sehingga mengarahkan keyakinan-keyakinan dan penilaian kita yang tak teruji. Dan keempat idola theatra, yaitu sistem-sistem filsafat tradisional yang merupakan kenyataan subyektif dari para filosofnya.

2.3 Filsafat Materialisme dalam memandang korupsi di Indonesia
Pengertian korupsi ini harus juga dilihat dari sudut pandang yang berbeda yaitu sudut pandang filsafat materialisme, sehingga dapat dipahami bahwa beberapa perbuatan untuk memperoleh kekayaan agar dapat membantu orang lain, memberikan banyak sumbangan sosial dan keagamaan, membantu keluarga, membantu negara, mendapatkan kehormatan dan kedudukan dalam masyarakat, menguntungka rakyat secara umum atau menguntungkan negara secara tidak langsung dan perbuatan-perbuatan lain yang terpuji seharusnya tidak digolongkan sebagai perbuatan korupsi. Sementara, dengan kondisi pragmatis keuangan pegawai yang bersumber dari gaji adalah tidak mungkin memenuhi kebutuhan material pegawai negeri. Pandangan dan kebutuhan materialistis itulah yang menjadi sebabnya korupsi.
Korupsi harus juga dilihat dari hukum kausalitas, yaitu sesuatu tidak mungkin terjadi kalau tidak ada sebabnya. Sebab itulah yang menimbulkan akibat. Karupsi adalah akibat, yiatu akibat dari sistem yang longgar. Sistem yang memberikan peluang orang untuk melakukan korupsi. Korupsi juga adalah akibat dari kehilangan idealisme dan pengutamaan pada materialisme. Jika cara pandanganya adalah filsafat materialisme maka ada banyak aspek perbuatan korupsi yang bisa dibenarkan. Mungkin inilah pula kenapa korupsi tidak sepenuhnya dapat diatasi di Indonesia karena bagian terbesar masyarakat kita sudah dirasuki oleh pikiran materialisme dan penghambaan terhadap materi dan kekayaan.
Perbuatan menyalahgunakan kewenangan atau kedudukan dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain walaupun dapat merugikan negara, tidak selalu berkonotasi jahat sehingga harus dihukum dan dianggap korupsi jika dipandang dari filsafat materialisme itu. Dalam banyak kasus korupsi, koruptor merasa telah banyak berjasa pada negara dengan berjuang dan bekerja keras sehingga negara diuntungkan dari kerjanya itu. Negara pada sisi lain tidak memberikan kontra prestasi material kepada yang bersangkutan sehingga yang bersangkutan merasa sah-sah saja mendapatkan uang dari negara dalam berbagai bentuknya
Dengan demikian perlu dikaji kembali apa yang dimkasud perbuatan korupasi itu sehingga kita dapat memberikan definisi yang tepat tentang yang disebut “korupsi” dan apa yang tidak “korupsi”, dan tidak bisa dilihat hanya dari satu sudut pandang saja pikiran ideal dari para pembentuk undang-undang yang sebenarnya bisa bias kalau dilihat dari sisi empiris. Disamping itu pendekatan hukum untuk memahami korupsi tidak saja dilakukan dengan pendekatan dari pandangan positivis, tetapi juga dilihat dari sudut pandang legal realism.

2.4 Filsafat Pragmatisme dalam memandang korupsi di Indonesia.
Mengamati kenyataannya yang terjadi di Indonesia, mendapatkan kekayaan dari keuangan negara apakah legal atau tidak legal dapat mengenangkan banyak orang bahkan pelakunya mendapatkan penghargaan, pujian bahkan status sosial yang lebih tinggi karena kekayaannya. Ia dapat memberikan bantuan sosial, sumbangan keagamaan dan dapat membantu keluarga yang kekurangan bahkan dapat membantu negara secara tidak langsung dengan banyak menabung dan menyimpan uang di bank yang sangat bermanfaat untuk memajukan perekonomia negara. Orang kaya akan banyak mendapat pujian dan decak kagum dari masyarakat, tidak perduli apakah kekyaan itu berasal dari pekerjaan legal atau tidak legal. Bahkan banyak anggota masyarakat yang berani mati membela orang kaya. Jadi tidak seluruhnya benar bahwa korupsi merugikan orang lain dan merugikan negara atau merupakan perbuatan tercela. Kita harus melihat dari filsafat apa kita melihatnya.
Sementara, dengan kondisi pragmatis keuangan pegawai yang bersumber dari gaji adalah tidak mungkin memenuhi kebutuhan material pegawai negeri. Pandangan dan kebutuhan materialistis itulah yang menjadi sebabnya korupsi.
Demikian juga persoalan suap. Dari sudut mana kita memandang bahwa suap itu adalah perbuatan tercela yang harus dihukum. Dalam banyak hal “suap” itu dibutuhkan untuk efisiensi dan efektifitas dalam filsafat kapitalisme dan ekonomi pasar. Pasarlah yang menentukan seseorang untuk mengambil suatu putusan. Persaingan kehidupan modern sekarang selalu diukur dengan kecepatan dan ketepatan dalam bertindak, karena jika tidak, maka pasti akan ketinggalan.
 Itulah filsafat abad modern. Ketaatan pada aturan main kadang dianggap bisa menghambat kemajuan ekonomi dan persaingan dalam dunia bisnis yang serba cepat. Karena itulah negosiasi pelanggaran lalulintas di jalan antara polisi dan pelanggar lalulintas untuk memberi dan menerima suap adalah lebih efektif dan efisien daripada diproses tilang yang harus datang ke pengadilan menghabiskan waktu dan biaya yang bisa lebih besar. Demikian juga dalam pengurusan ijin-ijin usaha dan lisensi yang membutuhkan kecepatan maka pemberian hadiah dan fasilitas bagi penentu kebijakan akan dapat mempercepat penyelesaian perijinan dan dikeluarkanya kerbijakan itu. Pemegang saham dan atasan di perusahaan akan memberikan apresiasi yang luar biasa atas pekerjaan seseorang atau pimpinan perusahaan yang efektif dan efisien untuk kemajuan perusahaan dan secara tidak langsung akan menguntungkan bagi negara karena negara akan mendapat pemasukan pajak yang lebih besar dan karyawan akan mendapat kesejahteraan lebih baik. Jadi “suap” dari sudut pandang filsfat ekonomi pasar yang mengedepankan efektifitas dan efisiensi dapat merupakan perbuatan tidak tercela dan tidak merugikan negara atau orang lain.
Bab III Penutup
1.    Kesimpulan
Dari uraian tersebut di atas dari kajian filsafat ilmu terdapat banyak kekurangan yang ditemukan dalam memberikan pengertian tentang korupsi, terutama dari segi rumusan perbuatan pidana korupsi yang tercantum dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi. Rumusan tersebut ternyata tidak menjangkau seluruh pandangan masyarakat tentang apa yang dianggap “korup” dan apa yang tidak. Sehingga rumusan tersebut potensial tidak menyentuh seluruh aspek perbuatan tercela yang seharusnya dianyatakan sebagai perbuatan “korup”, dan bahkan dapat menjerat seseorang sebagai telah melakukan korupsi, sebenarnya bukanlah perbuatan tercela yang seharusnya tidak dapat dihukum.
Persoalan tersebut disebabkan oleh tidak jelasnya epistemologi penentuan suatu perbuatan sebagai perbuatan korupsi. Penulis melihat bahwa pembentuk undang-undang lebih banyak mempergunakan pendekatan dari sisi idealisme dan tidak berdasarkan pendekatan sisi materislisme dan empiris. Disamping itu, dari sisi filsafat hukum pendekatan yang dipergunakan lebih menonjolkan sisi pandang positivis dibanding sudut pandang prgamatis dan “legal realisme”. Apa yang diuraikan di atas adalah baru dari satu persoalan saja yaitu persoalan rumusan tindak pidana korupsi dan suap belum lagi persoalan-persoalan lain yang diatur dalam undang-undang pemberantasan korupsi itu.
2.    Saran
Penggunaan pendekatan yang lebih komprehensif dalam melihat korupsi akan sangat berpengaruh terhadap upaya pemberantasan korupsi. Kesalahan dalam pendekatan mengakibatkan salah persepsi terhadap korupsi dan akan menyebakan terhambatnya pemberantasan korupsi. Untuk penyempurnaan ke depan perlu pendekatan yang lebih komprehensip dalam membuat undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi dan dalam implementasinya yaitu tidak saja menggunakan pendekatan idealisme, tapi perlu juga pendekatan lain yaitu pendekatan dari sudut pandang materialisme dan pragmatisme. Penggunaan pendekatan yang utuh seperti ini akan dapat memberikan pemahaman utuh tentang tindak pidana korupsi.

—————————
DAFTAR PUSTAKA
Baharuddin Lopa & Moh Yamin, Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Undang-Undang No. 3 tahun 1971) Breikut Pembahasan serta Penerapannya Dalam Praktek, Alumni, Bandung, 1987.
Budi Hardiman, F., Filsfat Modern, Dari Machiavelli Sampai Nietzhe, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004.
Donald Walters, J., Crisis in Modern Thought, Menyelami Kemajuan Ilmu Pengetahuan Dalam Lingkup Filsafat dan Hukum Kodrat, Pt Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003.
Conny Semiawan, at.al., Panorama Filsafat Ilmu, Landasan Perkembangan Ilmu Sepanjang Zaman, Penerbit Teraju, Jakarta, 2005.
Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu, Kajian Atas Asumsi dasar Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, Cet. Kedua, Penerbit Belukar, Yogyakarta, 2005.
Indriyanto Seno Adji, Korupsi dan hukum Pidana, Kantor Pengacara dan Konsultan Hukum Prof. Oemar Seno Adji & Rekan, Jakarta, 2001.
Jeremy Pope, Strategi Memberantas Korupsi, Elemen Sistem Integrasi Nasional, Yayasan Obor Indonesia dan Transparency International Indonesia, Jakarta, 2003.
Bank Dunia (The World Bank), Memerangi Korupsi di Indonesia, Kantor Bank Dunia Jakarta, 2003.
United Nations Convention Against Corruption (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa menentang Korupsi, 2003), Forum Pemantau Pemberantasan Korupsi, Perum Percetakan Negara RI, Jakarta, 2004).
Undang-Undang Republik Indonesia No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar